internetsehat.id

Merawat Kolaborasi Literasi Digital Indonesia

Catatan ICT Watch dari Kuala Lumpur: Indonesia Termasuk Negara Consumer-Friendly untuk Akses Materi Pendidikan

Praktek penegakan hukum copyright di seluruh dunia berubah dengan sangat cepat dari waktu ke waktu. Namun yang selama ini sering terjadi adalah perubahan tersebut hanya untuk kepentingan pemilik hak cipta saja. Sementara kepentingan konsumen dalam mengakses material pendidikan dan budaya secara adil dan terjangkau masih dikesampingkan.

Untuk memetakan tren ini secara global, Consumer International (CI) telah melakukan penelitian dengan melibatkan 34 negara, Indonesia termasuk di dalamnya. Khusus Indonesia, penelitian dilakukan oleh ICT Watch berkoordinasi dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Hasil penelitian diumumkan dalam sebuah gathering ‘Access to Knowledge (A2K)’ bertempat di Kuala Lumpur, Malaysia, 21-22 April 2010.

Gathering dihadiri oleh anggota-anggota CI dan mitra terkait. Dari 30-an peserta, mayoritas adalah anggota CI yang lingkup kerjanya di seputar konsumen. Hanya dua peserta yang berasal dari non-member CI, yaitu ICT Watch (Indonesia) yang dalam kesempatan kali ini diwakili oleh Dewi Widya Ningrum dan Kathmandu Centre for Cyber Studies (Nepal).

Selain memberikan laporan mengenai kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan anggota CI pada program A2K, IP Watch List, hasil survei A2K Access Barriers, gathering ini juga membeberkan sejumlah kegiatan kampanye dan advokasi yang dilakukan beberapa negara sebagai tindak lanjut penelitian, termasuk diantaranya kampanye untuk mengurangi pajak buku, dan praktek-praktek penegakan hukum yang mendukung konsumen dalam mengakses material pendidikan.

Salah satu temuan yang di-highlight dari penelitian ini adalah mayoritas negara memberlakukan pengecualian copyright, artinya konsumen diberi kebebasan untuk menyalin material ber-copyright asalkan untuk tujuan tertentu. Di Amerika Serikat dan Israel, pengecualian ini disebut “Fair Use”. Di Lebanon dan Sweden disebut dengan “Private Copying”, artinya konsumen diperbolehkan menyalin material copyright selama untuk penggunaan pribadi.

Berikut ini adalah 10 negara teratas yang dinilai paling “consumer-friendly” terhadap akses material pendidikan:
1. India
2. Lebanon
3. Israel
4. Amerika Serikat
5. Indonesia
6. Afrika Selaran
7. Bangladesh
8. Morocco
9. Sweden
10. Pakistan

Sedangkan 10 negara terbawah yang dinilai paling tidak “consumer-friendly” terhadap akses material pendidikan adalah:
1. Chile
2. Jordan
3. United Kingdom
4. Kenya
5. Thailand
6. Argentina
7. Brazil
8. Zambia
9. Mesir
10. Jepang

Pada kesempatan yang sama, CI juga merilis sebuah film pendek produksi mereka bertajuk “When Copyright Goes Bad”. Film ini berisi gambaran tentang bagaimana undang-undang copyright yang ketat telah mempengaruhi hak-hak konsumen di seluruh dunia.

Pada film ini kita juga dapat melihat argumen tentang perlunya negosiasi ulang tentang undang-undang kekayaan intelektual dalam era digital. Film ini dibuat di Paris dengan mengangkat beberapa isu penting tentang perdebatan copyright dan access to knowledge. Beberapa figur ternama turut berkontribusi dalam film ini, mulai dari Hank Shocklee (pionir grup rap Public Enemy) sampai aktivis Fred Von Lohmann (pengacara Amerika spealis kasus Intelektual Properti) dan Michael Geist (peneliti asal Kadana di bidang Internet and e-Commerce Law).

Film ini dibuat di bawah lisensi Creative Common (CC), artinya siapapun dapat mengakses film ini secara bebas dan membuat versi lanjutannya yang baru di bawah lisensi yang sama. Video dapat di-download di Youtube.

Keterangan Foto
Atas: Suasana global meeting A2K
Tengah: Diskusi para peserta
Bawah:
Dewi dari ICT Watch berdialog dengan peserta negara lain di sela acara


(dew / Tim Internet Sehat)