internetsehat.id

Merawat Kolaborasi Literasi Digital Indonesia

Dari Tebet

Diantara Distraksi dan Mobilisasi: Partisipasi Politik Anak Muda di Era Digital

Segala sesuatu yang pertama biasanya disambut dengan perasaan gegap gempita karena biasanya akan menjadi kenangan yang membekas untuk selamanya. Dalam konteks politik, bagi anak muda memiliki hak pilih (melalui persyaratan batas umur atau status perkawinan), maka memilih calon Presiden dan wakil rakyat untuk pertama kalinya menjadi pengalaman yang menarik untuk diamati. Khusus di Pemilu 2024 nanti, sebagian besar dari generasi Z (generasi kelahiran tahun 1997 – 2012) mendapatkan hak pilih untuk pertama kalinya. Salah satu ciri penting yang membedakan generasi Z dengan generasi pendahulunya adalah bahwa Generasi Z kelompok umur yang hampir separuh atau hidupnya “diasuh” oleh media sosial. “Pola pengasuhan” semacam ini menimbulkan beberapa persepsi negatif dari beberapa peneliti, khususnya ketika menyinggung partisipasi politik. 

Mindich (2005) menyebut bahwa para anak muda terkesan kurang aktif keterlibatannya di ranah politik ketimbang orang tuanya. Alih-alih disebabkan oleh faktor usia, anggapan ini bermuara pada sikap politik antar generasi tersebut. Sikap individualistis maupun hedonistis dituding sebagai sumber sikap apolitis ataupun keengganan berpartisipasi di ranah politik. Fakta bahwa media sosial terutama digunakan untuk hiburan dan tujuan relasional, terutama ketika menyangkut kaum muda (Dimitrova dan Matthes 2018; tetapi lihat Skoric dan Zhu 2016; Theocharis dan Quintelier 2016). Artinya, penggunaan media sosial oleh anak muda jelas didominasi oleh konten di luar isu-isu politik (Binder et al. 2021).

Pernyataan di atas didukung oleh tren menurunnya partisipasi politik di kalangan anak muda, khususnya dalam pemilihan presiden Amerika Serikat dari waktu ke waktu, terhitung sejak pemilu 1964 (50,9%) dan terus merosot hingga pada tahun 2000 (32,3%). Penurunan ini disebabkan karena keengganan para kaum uda untuk mengonsumsi berita, jika dibandingkan dengan orang tua mereka. Imbasnya adalah pengetahuan terhadap dinamika politik semakin terbatas. Tak hanya di AS, hal ini juga terjadi di negara adidaya tersebut yaitu Kanada. Blais (2004) menjelaskan bahwa keengganan para kaum muda untuk menuju ke bilik suara karena kurang perhatian di ranah politik dan juga karena cenderung tidak mematuhi norma bahwa memilih bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban moral.

Fenomena ini juga terjadi di berbagai belahan dunia lainnya seperti di Eropa Barat, Jepang, dan Amerika Latin (Niemi & Weisberg 2001). Quentelier (2007) mendukung argumen di atas bahwa menuding bahwa anak muda menjadi kelompok yang menunjukkan tren penurunan dalam menggunakan hak pilihnya. Kondisi ini juga terjadi di Austria, meski syarat usia relatif lebih rendah dengan negara lain (16 tahun) namun tingkat partisipasi di negara tersebut terbilang rendah. Hal ini didasari oleh rendahnya kepercayaan anak muda dengan sistem politik saat ini. (Quintelier 2007; lihat Binder et al. 2021).

Meskipun begitu, dalam perjalanannya peningkatan partisipasi politik akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia mereka. Penulis lain yang lebih moderat dalam membaca situasi ini menyebut kondisi ini sebagai transformasi politik, dimana para anak muda belum menjadi anggota partai politik atau belum memiliki political stance yang jelas.

Fenomena ini berkebalikan dengan temuan yang diperoleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang meneliti tentang partisipasi anak muda di Indonesia dengan melihat tren di dua pemilu sebelumnya (Katadata, 2022). Dalam penelitian tersebut ditemukan fakta bahwa sebesar 85,9% responden mengaku menggunakan hak pilih pada pemilu 2014. Kemudian diikuti sebesar 11,8% mengaku tidak memilih dan sisanya, 2,3% mengaku enggan menjawab. Kemudian di pemilu 2019 tejadi lonjakan partisipasi di kalangan anak muda. Sebesar 91,3% mengaku memilih, disusul 8% mengaku tidak memilih dan sisanya, 0.7% mengaku enggan menjawab. 

Berkembangnya media komunikasi sebagai imbas dari kemajuan teknologi membawa pengaruh yang signifikan dalam perilaku mencari informasi maupun berinteraksi. Generasi tua mengandalkan media massa (radio dan TV) serta media cetak (koran, majalah, dll) dalam mengonsumsi berita Nasional. Sedangkan anak muda yang kini berusia 16 – 25 tahun, bertumpu pada platform digital atau layanan obrolan, seperti Facebook, TikTok, YouTube, Twitter, Instagram, WhatsApp untuk mendapatkan berita Secara real time.

Bagi partai politik, kemunculan media sosial menjadi medan perang baru di tengah apatisme kaum muda dan keengganan untuk terikat pada entitas politik yang kini sedang eksis (mis., Binder et al. 2021; Loader et al. 2014). Kehadiran sosial media yang digandrungi kaum muda tidak hanya dominasi tentang nada-nada sumir belaka. Beberapa pemikir menyambut kemajuan di era informasi digital ini mampu menghadirkan harapan besar akan perubahan (lihat Binder et al. 2021; Oser dan Boulianne 2020). Media sosial menjadi platform yang digemari karena berbiaya rendah, menyebarluas di berbagai kalangan dan menciptakan ruang yang terbuka dan demokratis dalam kerangka partisipasi politik (Khamis & Vaughn, 2011; Vissers & Stolle, 2014).

Media sosial kerapkali menjadi medium yang mampu menyediakan interaksi sosial para penggunanya, khususnya dalam ruang tempur dalam beropini maupun perdebatan politik. Di sisi lain, media sosial dipilih karena mendudukkan penggunanya dalam posisi setara. Maka anggapan soal kurangnya partisipasi politik (yang biasanya direduksi hanya ranah praktis, seperti pemungutan suara) bisa ditepis karena sejatinya praktek politik dalam sistem demokrasi yang sejati adalah perdebatan mengenai gagasan terkait kebijakan politik maupun sistem yang ideal yang mampu menyediakan kemaslahatan bagi seluruh warga negara.

Partisipasi politik di tengah perubahan di era komunikasi digital harus didekati dengan cara yang baru. Partisipasi politik tidak bisa lagi dipandang secara konvensional dengan sebatas penggunaan hak pilih atau tergabung dalam institusi politik. Keberadaan media sosial memicu terjadinya tindakan yang dianggap baru dan hanya bisa terjadi di ruang digital, seperti petisi online atau mengomentari unggahan para tokoh politik dan juga Belakangan ini, anak muda lebih menggemari keterlibatan politik secara tidak terlembaga dan setara (Sloam 2014). 

Sosial media digandrungi anak muda untuk mengekspresikan pendapat dan sikap politiknya karena hanya satu-satunya media yang mampu memobilisasi suatu isu lewat petisi online dan menyanggah atau membalas unggahan para politisi. Aktivitas tersebut tidak mungkin terjadi di era media konvensional, apalagi bagi anak muda yang terkadang dipandang sebelah mata. Maka partisipasi politik di era kontemporer ini tidak bisa hanya dimaknai secara tunggal, namun juga partisipasi secara tidak terlembagakan atau berafiliasi dengan entitas politik tertentu.

Boulianne dan theocharis (2020) menjelaskan bahwa penurunan partisipasi anak muda di ranah politik dan sipil ini marak terjadi seiring dengan perkembangan media sosial. Argumentasi ini dibangun karena media sosial menjadi sumber informasi yang dominan dan kerapkali informasi yang dikonsumsi kebanyakan adalah hiburan dan jikalau hal itu berbau politik, bukanlah politik institusional. Padahal, media sosial juga mendorong keterlibatan politik anak muda karena media sosial berfungsi sebagai cara anak muda mengembangkan keterampilan dan disposisi psikologis yang mendorong partisipasi offline (Kahne dan Boyer 2018).

Gil de Zuniga et al. (2012) juga mengemukakan bahwa media sosial secara tidak langsung mendorong partisipasi dengan mengembangkan ekspresi opini, yang merupakan pendorong utama partisipasi politik. Sebagai efek tidak langsung lainnya dari media sosial terhadap partisipasi politik, telah dikemukakan bahwa beberapa bentuk penggunaan media sosial, seperti berbagi berita, dapat memperkuat hubungan sosial dan meningkatkan kohesi sosial, yang pada gilirannya, dapat menjadi pendorong aksi kolektif dan keterlibatan kelompok (misalnya, Goh et al. 2019; Hwang dan Kim 2015).

Demikian pula, media sosial membentuk sikap kewargaan, dimana identitas ini menjadi faktor kunci bagi para anak m uda untuk melihat masyarakat sebagai konstruksi aktor manusia dengan tujuan politik dan moral (Chen et al. 2015). Matthes et al. (2020) menyatakan bahwa media sosial berkolerasi dengan meningkatnya partisipasi politik tradisional karena media sosial menyuguhkan beragam informasi sebagai media pembelajaran sehingga meningkatnya kepedulian dan ketertarikan di ranah politik. Dampak kehadiran media sosial ini juga mengurangi kesenjangan pengetahuan yang akhirnya juga berdampak pada partisipasi politik (Chadwick 2012).

Jadi secara keseluruhan, argumen yang dominan adalah bahwa penggunaan media sosial dapat mendorong bentuk keterlibatan yang lunak (kegiatan politik tidak terlembagakan), seperti ekspresi politik online atau bentuk partisipasi politik yang mudah dilakukan. Berikutnya, akan membentuk jenis keterlibatan politik tradisional yang dilembagakan. Sebagai Bode et al. (2014) menyatakan bahwa intensitas penggunaan jejaring sosial yang telah menjadi bagian dari kehidupan para remaja sebenarnya berpotensi meningkatkan kemungkinan mereka untuk berpartisipasi dalam politik dengan cara lain.

Selain itu, media sosial juga dapat secara langsung meningkatkan partisipasi offline di kalangan anak muda (Boulianne dan Theocharis 2020). Teori ini, sejalan dengan meta-analisis yang tersedia, mengarah pada prediksi yang jelas bahwa penggunaan media sosial seharusnya meningkatkan tidak hanya bentuk partisipasi yang tidak dilembagakan, tetapi juga—secara tidak langsung atau langsung—bentuk tradisional seperti pemungutan suara. Bahwa, keterlibatan secara online maupun offline berkorelasi bukanlah pilihan melainkan dua “ekosistem” yang saling mendukung dalam kerangka kesadaran berpolitik.

Salah satu peristiwa fenomenal yang menunjukkan korelasi antara sosial media dan partisipasi politik adalah kala Revolusi Payung (Umbrella Revolution) di Hongkong pada tahun 2014 dan mendapatkan sorotan publik dunia. Hal ini dipicu tidak adanya transparansi dalam persiapan menuju pemilihan kepala eksekutif Hongkong tahun 2017. Facebook menjadi sosial media yang paling sering digunakan oleh anak muda Hongkong. Para anak muda ini memulai kampanye dukungan atas gerakan ini dengan beramai-ramai mengganti gambar profilnya dengan pita kuning atau payung sebagai bagian dari dukungan terhadap gerakan ini.

Selain Facebook, WhatsApp juga menjadi aplikasi percakapan yang paling sering digunakan untuk menyebarkan informasi, berbagi opini dan juga memobilisasi para demonstran selama kurun waktu September – Desember 2014. Salah satu pentolan gerakan Revolusi Payung, Joshua Wong terpilih menjadi salah satu sosok di majalah Time 2014 dan mendapatkan gelar “Persons of the Year”. Pada tahun 2016, Wong yang pada saat itu berusia 20 tahun mendirikan partai bernama Demosisto bersama dengan rekan-rekan aktivisnya, diantara lain Agnes Chow, Oscar Lai dan beberapa aktivis Revolusi Payung lainnya yang pada saat itu sedang ditahan pihak berwenang. Sejak saat itu, Wong dan beberapa rekannya keluar masuk penjara karena dianggap membuat perkumpulan terlarang (unlawful assembly). Pada tahun 2018, Wong dan beberapa rekannya dinominasikan menerima Nobel Perdamaian karena dianggap telah membawa reformasi politik secara damai dan melindungi kebebasan yang dijamin Hong Kong dalam Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris.

Di Indonesia, peristiwa serupa dimana media sosial berperan penting dalam menyalurkan protes anak muda terjadi ketika masifnya penolakan RUU Omnibus Law pada tahun 2019. Salah satu alasan pengesahan RUU Omnibus Law agar mempermudah masuknya investasi. Namun hal ini direspon secara negatif, khususnya di media sosial Twitter. Hal ini terpantau dari beberapa hashtag (tanda pagar) yang menjadi trending topic di Twitter hingga berskala global, beberapa diantaranya #tolakomnibuslaw, #mositidakpercaya dan lain sebagainya. Masifnya perdebatan seputar Omnibus Law ini juga mencuri perhatian para pecinta K-Pop (K-popers) yang didominasi para remaja berusia belasan hingga di penghujung usia 30 tahun (CNN Indonesia, 2020). Dalam laporan tersebut, para K-popers ini kemudian berrduyun-duyun menunjukkan penolakannya atas rencana pengesahan RUU Omnibus Law. Tak hanya beropini atau menyukai unggahan akun-akun lain yang menyediakan informasi terkait bahaya Omnibus Law, beberapa elemen masyarakat termasuk pelajar dan mahasiswa juga turun ke jalan, seperti yang terjadi di sejumlah kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bekasi, Serang, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar, hingga Sumatera Utara. Hal ini menjadi bukti sahih bahwa platform media sosial yang mampu menyediakan ruang bagi warganet untuk mendiskusikan isu-isu publik dan Twitter berpotensi menjadi ruang publik yang memfasilitasi berkontestasi gagasan yang bisa jadi tidak terwadahi oleh media konvensional. 

Ditulis oleh Nora Ayudha
Peneliti ICT Watch Indonesia

Referensi:

Binder, Alice, Raffael Heiss, Jörg Matthes & Diana Sander. 2021. Dealigned but mobilized? Insights from a citizen science study on youth political engagement. Journal of Youth Studies 24(2). 232–249.

Blais, A., Gidengil, E. & Nevitte, N. (2004) ‘Where does turnout decline come from?’, European Journal of Political Research, vol. 43, no. 2, pp. 221–236.

Bode, Leticia, Emily K. Vraga, Porismita Borah & Dhavan V. Shah. 2014. A new space for political behavior: Political social networking and its democratic consequences. Journal of Computer-Mediated Communication 19(3). 414–429.

Boulianne, Shelley & Yannis Theocharis. 2020. Young people, digital media, and engagement: A meta-analysis of research. Social Science Computer Review 38(2). 111–127.

Chadwick, Andrew. 2012. Recent shifts in the relationship between the Internet and democratic engagement in Britain and the United States: Granularity, informational exuberance, and political learning. In Eva Anduiza, Michael James Jensen & Laia Jorba (eds.), Digital media and political engagement worldwide: A comparative study, 39–55. Cambridge: Cambridge University Press.

Chen, Hsuan-Ting, Sun Ping & Gan Chen. 2015. Far from reach but near at hand: The role of social media for cross-national mobilization. Computers in Human Behavior 53. 443–451.

Gil de Zúñiga, Homero, Nakwon Jung & Sebastian Valenzuela. 2012. Social media use for news and individuals’ social capital, civic engagement and political participation. Journal of Computer-Mediated Communication 17(3). 319–336

Hwang, Hyesun & Kee-Ok Kim. 2015. Social media as a tool for social movements: The effect of social media use and social capital on intention to participate in social movements. International Journal of Consumer Studies 39. 478–488.

Kahne, Joseph & Benjamin Bowyer. 2018. The political significance of social media activity and social networks. Political Communication 35(3). 470–493.

Khamis, Sahar dan Vaughn, Katherine. We Are All Khaled Said: The Potentials and Limitations of Cyberactivism in Triggering Public Mobilization and Promoting Political Change. Journal of Arab & Muslim Media Research 4(2): 145-163.

Knoll, Johannes, Jörg Matthes & Raeffal Heiss. 2020. The social media political participation model: A goal systems theory perspective. Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies 26(1). 135–156.

Mindich, D. T. Z. (2005) Tuned Out. Why Americans Under 40 Don’t Follow the News. Oxford University Press, Oxford.

Oser, Jennifer & Shelley Boulianne. 2020. Reinforcement effects between digital media use and political participation: A meta-analysis of repeated-wave panel data. Public Opinion Quarterly 84. 355–365.

Quintelier, Ellen. 2007. Differences in political participation between young and old people: A representative study of the differences in political participation between young and old people. Contemporary Politics 13(2). 165–180.

Skoric, Marko M. & Quinfeng Zhu. 2016. Social media and offline political participation: Uncovering the paths from digital to physical. International Journal of Public Opinion Research 28(3). 415–426.

Sloam, James. 2014. ‘The outraged young’: Young Europeans, civic engagement and the new media in a time of crisis. Information, Communication & Society 17(2). 217–231.

Vissers, Sara & Stolle Dietlind. Spill-Over Effects Between Facebook and On/Offline Political Participation? Evidence from a Two-Wave Panel Study. journal of Information Technology & Politics. Volume 11 (3), 2014.

Web

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20201006114420-192-554876/pecinta-k-pop-roketkan-omnibus-law-jadi-trending-topic-dunia
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/30/survei-partisipasi-pemilih-muda-meningkat-pada-pemilu-2019