internetsehat.id

Merawat Kolaborasi Literasi Digital Indonesia

Literasi Digital

Fakta yang Terbungkam: Tantangan Perempuan Indonesia di Tengah Era Digital

Di tengah masifnya perkembangan  internet dan berbagai kampanye positif tentang penggunaan internet, terdapat empat tantangan yang dialami Perempuan Indonesia di dunia digital. Isu ini meliputi Kekerasan Berbasis Gender Online, Ketimpangan Literasi Digital, Kesenjangan Pendapatan, dan Keterbatasan Daya Beli Kuota Internet. Keempat isu ini menjadi pengingat bahwa Indonesia masih jauh mencapai Sustainable Development Goals nomor 5  – kesetaraan perempuan, yang salah satunya meningkatkan penggunaan teknologi komunikasi dan informatika untuk membuat perempuan lebih berdaya.

  1. Kekerasan Berbasis Gender Online

Ruang digital yang tidak aman masih menghantui perempuan Indonesia. Mulai dari peretasan akun, grooming, dan kekerasan berbasis gender online, seperti penyebaran konten intim non konsensual. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis Catatan Akhir Tahun atau CATAHU (2022) yang melaporkan total 1.697 kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang dikumpulkan dari 137 lembaga layanan di bawah jaringan Komnas Perempuan. Angka yang tinggi ini selaras dengan data SAFENet (2022) dengan total laporan 698 kasus KBGO. Melihat data ini kasus KBGO terus meningkat setiap tahunnya. Dengan demikian, kami percaya bahwa kasus ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan literasi digital, keamanan digital, dan kesenjangan pendapatan saat ini di Indonesia.

  1. Ketimpangan Literasi Digital

Data Indeks Literasi Digital (2022) yang dihimpun Kementerian Kominfo bekerja sama dengan KataData menunjukkan bahwa dari 4 (empat) pilar indeks literasi digital Indonesia, nilai indeks literasi digital perempuan Indonesia lebih rendah daripada laki-laki, terutama pada pilar keamanan digital. Data tersebut selaras dengan data Badan Pusat Statistik Indonesia, yang menunjukkan bahwa proporsi keterampilan perempuan dalam menggunakan teknologi informasi dan komputer (TIK) masih jauh di bawah laki-laki. Sungguh menyedihkan jika mengacu pada data Digital Report oleh We Are Social (2023) yang menunjukkan pengguna internet di Indonesia telah mencapai lebih dari 212 juta orang dengan durasi online rata-rata 8 (delapan) jam per hari. Jumlah pengguna internet dan rata-rata waktu penggunaan internet ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas keterampilan penggunaan internet di Indonesia.

  1. Kesenjangan Pendapatan

Bukan rahasia lagi jika kesenjangan pendapatan gender jadi hal yang signifikan di negara-negara tertentu, termasuk Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (2022) menunjukkan kesenjangan pendapatan gender Indonesia mencapai 22,41%. Perempuan Indonesia hanya menerima pendapatan rata-rata Rp 2.437.727 per bulan, atau USD 160, dibandingkan dengan laki-laki yang menerima Rp 3.101.907 atau USD 203 (BPS, 2022). Tak heran, data berikut ini mengungkapkan rendahnya daya beli perempuan terhadap kuota internet.

  1. Keterbatasan Daya Beli Kuota Internet

Pada tahun 2016, PBB menyatakan internet memiliki fungsi katalis atau medium percepatan untuk menyelaraskan semua hak asasi manusia. Artinya, pemenuhan akses internet yang terjangkau menjadi salah satu hak yang wajib dipenuhi. Terkait hal ini, data Digital Report oleh We Are Social (2023), menyebutkan Indonesia termasuk dalam 10 besar negara dengan 23% masyarakat yang belum terkoneksi internet. 

Data berikutnya dari Indeks Literasi Digital (2022) yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan KataData mengatakan bahwa perempuan menghabiskan lebih sedikit kuota untuk mengakses internet dibandingkan laki-laki. Rendahnya daya beli ini kemungkinan disebabkan oleh 2 (dua) alasan, yakni biaya internet masih tinggi dan perempuan memiliki uang yang lebih terbatas untuk membayar karena perbedaan pendapatan. Kedua faktor inilah yang menyebabkan terbatasnya akses kuota internet bagi perempuan Indonesia. Jika koneksi lebih terbatas untuk perempuan, maka lebih sulit untuk memaksimalkan peluang yang berlimpah di ruang digital.

Strategi Penguatan Literasi Digital di Kalangan Perempuan

Data-data di atas mengungkapkan mirisnya kondisi literasi digital Indonesia di kalangan perempuan. Data ini bisa jadi merefleksikan data di negara lainnya. Oleh karenanya, penting untuk membuat ruang digital jadi lebih setara dan inklusif bagi perempuan. Berikut ini 5 (lima) rekomendasi kolaboratif yang ditawarkan:

  1. Melakukan tindakan afirmatif dalam setiap kegiatan pelatihan/pendidikan yang setara gender, misalnya melibatkan peserta perempuan dengan kuota tertentu, durasi, dan tempat pelatihan yang ramah perempuan, serta harga akses internet yang lebih terjangkau atau khusus untuk perempuan.
  2. Menyiapkan materi/konten pelatihan/edukasi teknologi digital yang kontekstual dan disesuaikan dengan kepentingan perempuan, terutama terkait keamanan digital, pencegahan kekerasan berbasis gender online, kesehatan seksual dan reproduksi, serta hak-hak perempuan.
  3. Mendorong partisipasi perempuan dalam teknologi digital khusus untuk memperkuat sektor keuangan keluarga, seperti literasi keuangan digital, pelatihan UMKM online, konten digital kreatif, dan pemanfaatan media sosial.
  4. Mengatasi maraknya kasus kekerasan berbasis gender online dengan pendekatan dari hulu, misalnya pendidikan/advokasi, hingga ke hilir, mulai dari penegakan hukum yang kuat dan tanggap terhadap kasus hingga adanya penyedia layanan yang memadai bagi para korban.
  5. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan pengikisan budaya patriarki.