Hati-hati, Anak Bisa Kecanduan Pornografi!
Cyber bully, pornografi, dan pencurian data pribadi, adalah masalah terbesar penyalahgunaan internet saat ini. Kasus cyber bully terjadi ketika anak diganggu dan dipermalukan teman-temannya melalui internet, entah itu melalui grup WhatsApp, atau media sosial.
Sedangkan paparan pornografi bisa terjadi ketika anak tanpa sengaja menemukan gambar-gambar atau video porno di internet. Entah ketika ia tanpa sengaja melihat gambar-gambar porno di ponsel orangtuanya, ditunjukkan teman-temannya yang iseng, atau ada orang dewasa yang sengaja mengirimkannya pada anak. Yang terakhir ini biasanya dilakukan oleh pelaku pedofilia.
Jika anak kemudian mengabaikan saja gambar-gambar porno tersebut, tentu Mama tak akan khawatir. Yang menjadi masalah jika kemudian anak penasaran, tertarik, lalu berusaha mencari sendiri gambar-gambar tersebut. Sebab, hal ini bisa menyebabkan anak kecanduan pornografi.
Pada tahun 2012, Independent Parliamentary Inquiry Into Online Child Protection di Inggris mengungkapkan bahwa satu dari tiga anak usia 10 tahun telah melihat gambar-gambar seksual. Yang lebih mengejutkan, 41 persen dari anak usia 7-10 tahun sudah mendapatkan akses internet di kamar mereka sendiri. Angka ini boleh jadi telah meningkat di tahun 2016, ketika akses internet sudah semakin mudah dan murah.
Menurut Ika Putri Dewi, psikolog dari Yayasan Pulih, kecanduan pornografi bisa terjadi sejak masa pubertas. Namun perlu Mama ketahui, usia pubertas kini semakin maju. “Anak perempuan sudah menstruasi di usia 9 tahun, sehingga sudah memiliki hasrat seksual. Kemudian ia membutuhkan sesuatu untuk memuaskan hasrat seksualnya,” jelasnya, saat diskusi “Anak dan Media Sosial” yang diadakan Forum Ngobrol Bareng Sahabat di Jakarta, Jumat (11/3) lalu.
Anak bisa saja menggunakan materi pornografi untuk memuaskan hasrat seksualnya tersebut. Hal inilah yang membuat anak berisiko mengalami kecanduan pornografi. Bahkan, kecanduan pornografi bisa terjadi di rentang usia mana pun jika paparan sudah terjadi di usia lebih awal.
Frekuensi paparan terhadap pornografi juga menentukan terjadinya adiksi. Jika paparan terus meningkat, seiring berjalannya waktu sensitivitas anak terhadap pornografi berkurang. Ketika desensitisasi terjadi, anak mulai mencari frekuensi yang lebih tinggi.
“Lama-kelamaan, dari (pornografi) yang biasa, anak mencari yang tidak biasa,” tambah Widuri, Deputy Director Information, Communication, Technologi (ICT) Watch.
Anak mencari materi yang lebih “hardcore“. Ketika keinginan ini terjadi, itulah tanda-tanda bahwa otak mulai mencari stimulasi yang lebih, yang bisa memicu terjadinya kecanduan pornografi.
Jika hal ini terjadi, orangtua lah yang bertanggungjawab untuk mendampingi dan memberi pemahaman mengenai seks pada anak. “Anak sudah bisa diberikan pendidikan seks sejak ia bisa berkomunikasi,” pungkas Ika.
Sumber: Tabloid Nakita