Internet Indonesia Rentan Terjegal Disharmoni Kasus IM2
Pada tengah Desember 2015 nanti, masyarakat informasi dunia akan memberikan perhatian yang penuh pada Pertemuan Tingkat Tinggi, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat. Hal terpokok yang menjadi pembahasan nantinya adalah terkait kajian atas implementasi agenda World Summit on the Information Society (WSIS) yang telah berjalan terhitung sejak 2005.
Indonesia sendiri terus aktif menjalankan agenda WSIS dalam bentuk Deklarasi Prinsip-Prinsip dan Rencana Aksi yang disepakati dunia, hasil pertemuan puncak dua tahap yakni di Jenewa pada 2003 dan di Tunisia pada 2006.
Inti dalam agenda WSIS tersebut adalah mendorong pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk menopang pencapaian target pembangunan dunia Millennium Developments Goals (MDG), mempersempit kesenjangan digital di tengah masyarakat serta membangun tata kelola internet secara multistakeholder, transparan dan demokratis.
Capaian sepuluh tahun implementasi agenda WSIS oleh negara-negara anggota PBB itulah yang tepatnya pada 15 dan 16 Desember 2015 nanti akan dipaparkan, dibahas dan kemudian akan menjadi landasan bagi perpanjangan mandat WSIS berikutnya.
Dalam sesi WSIS +10 Consultation yang berlangsung saat acara Internet Governance Forum (IGF) ke 10 di Joao Pessoa – Brazil, 10-13 November 2015 lalu, tampak jelas dukungan dan dorongan berbagai multistakeholder (perwakilan pemerintah sejumlah negara, organisasi masyarakat sipil, sektor bisnis dan korporasi, komunitas teknis dan akademisi) untuk memperpanjang mandat WSIS.
Usulan perpanjangan mandat tersebut, sebagaimana pada mandat sebelumnya, salah satunya adalah mendorong potensi dan pemanfaatan TIK untuk pencapaian agenda pembangunan berkelanjutan, yang kini termaktub dalam Sustainable Development Goals (SDG).
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), secara tertulis telah mengusulkan dua hal atas draf WSIS Outcome Document yang tengah disiapkan PBB untuk dibahas dan disepakati di New York pada Desember nanti.
Usulan tersebut adalah memasukan target SDG no. 10 “reduce inequality within and among countries”, serta mendorong pendekatan “multistakeholder” dalam tata kelola internet global sebagai refleksi dari upaya pendekatan serupa yang tengah dirintis di dalam negeri. Draf WSIS Outcome Document PBB berikut dengan dokumen usulan Indonesia dan usulan sejumlah pemangku kepentingan lainnya di dunia, dapat diakses melalui situs http://unpan3.un.org/wsis10 .
Adapun target dalam pembangunan berkelanjutan, sebagaimana lebih lanjut ditulis dalam draf PBB tersebut, secara khusu adalah SDG no. 4b “pendidikan dan kebeasiswaan”, no. 5b “pemberdayaan perempuan”, no. 9c “infrastruktur dan akses”, dan no. 17.8 “bank teknologi dan pembangunan kapasitas”.
Dalam dokumen PBB tersebut juga ditegaskan bahwa peningkatan infrastruktur dan akses Internet pitalebar (broadband) yang terjangkau masyarakat, perlu didukung dengan strategi pitalebar nasional, karena posisinya yang esensial sebagai kondisi pemungkin (enabler) pembangunan berkelanjutan. Indonesia telah memiliki strategi pitalebar nasional, yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia no. 96 tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar Indonesia 2014 – 2019.
Juga dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengan Nasional (RPJMN) 2015-2019, jelas dimandatkan bahwa pembangunan akses Internet pitalebar untuk peningkatkan daya saing nasional, pemerataan akses atas informasi dan pencapaian keseimbangan pembangungan.
Juga menurut berdasarkan hasil riset McKinsey Global Institute yang dirilis pada November 2014, perlu ada sejumlah persiapan negara di kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) ingin turut mendulang manfaat ekonomi Internet seluas-luasnya. Persiapan tersebut di antaranya adalah membangun infrastruktur backbone (termasuk koneksi fiber optik dan mobile network) yang dapat melayani akses internet secara universal dengan biaya terjangkau.
Disharmoni di Kasus Indar
Namun sayangnya masih terdapat hal yang mengganjal dan merisaukan dalam regulasi dan pembangunan internet pita lebar dan mobile network di Indonesia. Pada awal November 2015, Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto. Oleh MA, Indar dianggap bertanggungjawab atas dugaan penyalahgunaan kerjasama jaringan 2,1 GHz/3G antara Indosat dengan IM2. Penolakan PK oleh MA tersebut menguatkan putusan kasasi yang dikenakan kepada Indar, vonis 8 tahun dan denda Rp 300 juta serta wajib membayar uang ganti sebesar Rp 1,3 triliun.
Indar pun hingga kini masih menjadi pesakitan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Terkait kasus IM2 ini, Lembaga Bantuan Hukum Pers belum lama berselang telah menyampaikan pendapat hukumnya bahwa bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah ketakselarasan (baca: disharmoni) pemahaman antara penegak hukum yang menangani kasus IM2 dengan regulasi dan praktek bisnis yang jamak dilakukan di bidang telekomunikasi, khususnya terkait pada penggunaan pita frekuensi.
Kominfo sebagai pengampu kebijakan terkait, bahkan telah mengeluarkan surat resmi per November 2012 silam saat kasus ini mencuat awal kali, yang menegaskan bahwa kerjasama Indosat dan IM2 tersebut sejatinya telah sesuai dengregulasi dan perundang-undangan yang berlaku.
Dukungan dari dalam negeri kepada Indar pun terus menguat hingga kini, semisal di antaranya dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan Masyarakat Telematika (Mastel) dan Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII).
Dukungan global pun tak sedikit yang berdatangan. Sebutlah setidaknya International Telecommunication Union (ITU), badan PBB khusus mengampu tata kelola TIK, pada September 2013 telah berkirim surat resmi kepada Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu. Beberapa bulan sebelumnya pada Juli 2013, GSM Association (GSMA) yang merupakan asosiasi operator telekomunikasi selular sedunia, pun telah berkirim surat bernada kurang lebih sama kepada SBY.
Seluruh dukungan tersebut intinya menyuarakan kekhawatiran bahwa putusan penegak hukum yang kontroversial atas kerjasama Indosat dan IM2 tersebut akan dapat memberikan dampak negatif dalam regulasi dan pembangungan internet pita lebar di Indonesia.
Tidak hanya berdampak di sektor operator selular, namun lebih dari 200 penyelenggara jasa Internet (PJI) Indonesia yang menjalankan model kerjasama serupa, akan menahan langkahnya lantaran jeri melihat sesuatu yang notabene selama ini legal dan lazim dalam dunia telekomunikasi dna Internet, ternyata kini justru beralih menjadi pematang menuju sel penjara.
Berbagai pihak terkait di Indonesia perlu terus berupaya mendapatkan kebenaran dan keadilan. Upaya ini bukan dalam rangka membebaskan pihak yang bersalah, namun untuk tak memasung kebenaran pun perkembangan teknologi itu sendiri. Harapan tinggi berbagai pihak pun menguat seiring perjalanan kasus IM2 hingga kini.
Harapan bahwa tata kelola, praktek bisnis dan penegakan hukum terkait telekomunikasi dan Internet di Indonesia akan segera kembali berjalan harmonis. Indonesia punya tanggungjawab besar sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia melalui WSIS, pun ada rencana kerja nasional yang harus dituntaskan sebagaimana tertulis dalam RPJMN.
Maka sangat tak elok bila disharmoni dalam memandang kasus IM2 yang terjadi saat ini lantas menjadikan internet Indonesia rentan terjegal dalam dinamika pembangunan dan persaingan global era informasi dewasa ini.
Sumber: InetDetik.com
Sumber Foto: Berita8