internetsehat.id

Merawat Kolaborasi Literasi Digital Indonesia

Literasi Digital

Jangan Mau Dibohongi Pake UU ITE!

089081300_1458015479-uu_ite

Pengantar:
(updated: 7 Desember 2016, 02.00 WIB) Artikel ini mencoba untuk melihat dan menyampaikan secara proporsional dinamika dan problematika terkait hasil revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), berdasarkan catatan sejarah (data dan fakta). Namun demikian, artikel ini bukanlah jaminan bahwa seluruh informasi telah tersajikan secara lengkap dan komprehensif. Penambahan ataupun perbaikan informasi pada artikel ini masih sangat dimungkinkan, dan dapat berjalan senantiasa setiap saat. Diharapkan artikel ini, dalam format tanya-jawab, dapat menjadi salah satu rujukan dalam membangun diskursus yang sehat di masyarakat yang demokratis, khususnya terkait hasil revisi UU ITE. Selamat membaca dan berdiskusi (berdasarkan data dan fakta).

Tanya (T): Apakah Pasal 27 ayat 3 UU ITE dapat membatasi kebebasan berekspresi?

Jawab (J) : Yang harus dipahami benar adalah bahwa kebebasan berekspresi adalah tidak tak terbatas. Bahkan sudah kesepakatan universal, bahwa kebebasan berekspresi perlu ada batasannya. Pembatasan tersebut perlu diatur dalam undang-undang, sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, pasal 29 ayat 2, bahwa “dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya (berpendapat dan berekspresi), setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. Jadi memang UU, termasuk UU ITE, dapat membatasi kebebasan berekspresi. Namun memang, pembatasannya tidak boleh sewenang-wenang.

Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 16 Desember 1966, melalui pasal 19 di dalam Kovenan (Kesepakatan) Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, tertulis sebagai berikut:

  • 1). Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan (pihak lain).
  • 2). Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide/gagasan apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tulisan, cetakan, dalam bentuk karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
  • 3). Pelaksanaan hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini turut membawa kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal (pembatasan) ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: (a). Menghormati hak atau reputasi (nama baik) orang lain, (b). Melindungi keamanan nasional, ketertiban umum,  kesehatan ataupun moral umum/publik.”

Indonesia meratifikasi kesepakatan ini pada 23 Februari 2006.

T: Lalu mengapa Pasal 27 ayat 3 UU ITE menjadi polemik?

J: Ada tiga hal mengapa pasal tersebut menjadi polemik, ketika belum direvisi. Pertama, bagi yang dilaporkan ke aparat penegak hukum terkait pasal tersebut, dapat dikenakan hukuman maksimal 6 tahun penjara. Menurut Hukum Acara Pidana, siapapun yang dilaporkan ke polisi dengan pasal yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih, polisi dapat langsung melakukan penahanan dengan alasan subyektif paling lama 20 hari, dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari oleh penuntut umum. Artinya, hanya dengan dilaporkan menggunakan pasal tersebut, polisi dapat melakukan penahanan atas pihak terlapor seketika itu juga. Apakah dapat dibuktikan dan dinyatakan “bersalah” atau tidaknya, itu adalah urusan nanti di depan pengadilan.

Hal kedua mengapa pasal ini menjadi polemik adalah, berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), pasal ini ternyata lebih kerap digunakan untuk meredam ekspresi yang legitimate (termasuk curhat dan keluhan) serta untuk membungkam mereka yang menyampaikan kebenaran termasuk informasi mengenai indikasi korupsi.  Sejumlah kasus yang dicatat SAFEnet, memang memaparkan bahwa pihak terlapor memiliki sumber daya dan posisi yang lebih tinggi daripada yang dilaporkan, atau disebut juga sebagai “kuasa tak berimbang”. Misalnya aparatur negara melaporkan masyarakat umum, pimpinan perusahaan melaporkan pekerja/buruhnya, ataupun profesional penyedia layanan melaporkan konsumennya.

Adapun hal ketiga adalah, saat diimplementasikan di lapangan, pasal ini kerap digunakan secara salah (misuse) dan disalahgunakan (abuse). Semisal, pihak pelapor bukan yang seharusnya melapor, terkait delik aduan. Artinya, misalnya pihak A mengeluarkan pernyataan terhadap pihak B, tetapi yang melapor ke polisi bisa jadi adalah C yang simpatisan ataupun seakan-akan berhak mewakili pihak B. Padahal pihak B ini tidak mendapatkan kuasa atapun bukan kuasa hukum dari pihak B.

Berdasarkan data yang dimiliki, SAFEnet pun meyakini bahwa pasal ini mudah dipelintir penerapannya di lapangan. Pun pasal ini sendiri telah sejak lama mendapatkan kritik dari sejumlah elemen masyarakat, termasuk diantaranya dari LBH Pers, ICT Watch dan netizen / blogger.

T: Lalu setelah revisi UU ITE, apa yang terjadi dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE?

J: Dalam hasil Revisi UU ITE yang telah disahkan DPR-RI, pasal itu sendiri sejatinya tidak berubah. Yang berubah adalah pada beberapa hal penting yang ditambahkan terkait pasal tersebut, yaitu: a). menegaskan bahwa pasal tersebut adalah delik aduan, b). menegaskan bahwa unsur pidana terkait pasal tersebut mengacu pada yang telah diatur dalam KUHP, c). menurunkan ancaman pidana pasal tersebut dari 6 tahun maksimal menjadi paling lama 4 tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta. Melihat dari perubahan ini, maka tentu aturannya diharapkan menjadi lebih jelas bahwa:  a). pihak yang merasa dicemarkan namanya secara jelas dan langsung adalah yang berhak melapor, b). definisi “pencemaran nama baik” harus mengacu pada KUHP, dan c). pihak terlapor tidak bisa lagi ditahan seketika oleh polisi jika mengacu pada pasal ini.

T: Sebenarnya apa keberatan dari sejumlah elemen masyarakat sipil pasca revisi UU ITE?

J: Sejatinya Komisi I DPR-RI, saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDP) dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil pada 3 Februari 2016 telah mencatat masukan dari masyarakat sipil baik yang disampaikan oleh koalisi Sahabat Informasi dan Komunikasi yang Adil – SIKA (ICJR, ELSAM, LBH Pers, Satu Dunia) maupun ICT Watch.

Sebelumnya RDPU tersebut akhirnya dilangsungkan,  sebenarnya secara umum ada 3 hal utama yang menjadi desakan dan/atau catatan masyarakat sipil saat mendesak pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi, :

a). pasal 27 ayat 3 UU ITE (dan pasal lainnya yang bicara pidana) diusulkan dicabut saja dan disinkronkan pada KUHP, b). pembahasan revisi UU ITE di DPR diminta untuk terbuka bagi masyarakat luas, c). revisi UU ITE dijanjikan pemerintah dan DPR adalah bentuk “revisi terbatas”, khusus pada pasal 27 ayat 3.

Namun demikian, pada akhirnya ke-3 hal tersebut di atas tidak terjadi. Pasal 27 ayat 3 UU ITE tetap berada di posisinya (namun dengan ancaman hukuman yang beratnya diturunkan) dan Komisi 1 DPR RI justru menetapkan sejumlah pembahasan revisi UU ITE dilakukan dalam rangkaian rapat tertutup. Lantas hasil akhir revisi UU ITE ternyata juga memasukkan pasal terkait “hak untuk dilupakan” (right to be forgotten / RTBF) dan pasal terkait “pemutusan akses” (blokir konten/website), sesuatu yang bisa jadi dianggap bukanlah perwujudan dari “revisi terbatas” ataupun pasal “selundupan”. (Catatan: mengenai pasal RTBF dan pemutusan akses, akan dibahas pada artikel selanjutnya)

T: Mengapa tidak sejak awal diajukan pencabutan pasal 27 ayat 3 UU ITE?

J: Faktanya, pasal tersebut telah diajukan dua kali ke Mahkamah Konstitusi untuk dicabut, namun MK menolak permohonan tersebut berdasarkan Putusan No 50/PUU-VI/2008 dan Putusan No 2/PUU-VII/2009. Hal tersebut diulas secara mendalam pada Laporan Utama, majalah Berita Mahkamah Konstitusi, no 29 – Mei 2009. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) adalah konstitusional (tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945) dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan prinsip-prinsip negara hukum. Dengan mengacu pada putusan MK tersebut, maka pihak pemerintah menyatakan tak dapat mengajukan pencabut pasal tersebut dari UU ITE.

Dalam putusannya, Mahkamah juga meminta bahwa dalam menafsirkan Pasal 27 Ayat (3) harus mengacu kepada pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP terkait pencemaran nama baik. Ditegaskan pula bahwa penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line), sehingga keberadaan pasal tersebut diputuskan oleh MK untuk tetap berlaku.

—–

(updated: 7 Desember 2016, 02.00 WIB)

Komisi 1 DPR RI juga telah memetakan 3 alternatif tanggapan yang berkembang di publik, organisasi masyarakat sipil ataupun diantara anggota Komisi 1 sendiri atas keberadaan pasal 27 ayat 3 UU ITE, yaitu: a).  meminta diperberat sanksi pidananya, b). mendesak pasal tersebut dicabut, c). mengusulkan revisi (dengan pengurangan ancaman hukuman, dipertegas sebagai delik aduan dan dirujuk pada KUHP pasal 310 dan 311). Namun kemudian Komisi 1 sepakat berpendapat bahwa pilihan “mencabut pasal” tidaklah mungkin dapat dilakukan, karena dianggap dapat menjadi kontraproduktif dan terhadap tujuan dari teknologi informasi dan komunikasi (TIK) itu sendiri.

Komisi 1 lantas juga merujuk pada putusan MK sebagaimana telah dijelaskan di atas, ketika mengambil keputusan terkait pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut.  Ditegaskan pula bahwa “keliru” jika ada yang menyebut bahwa revisi UU ITE dapat atau bertujuan untuk membelenggu (kebebasan berekspresi – Red.). Komisi 1 juga meyakini bahwa revisi yang dilakukan terhadap UU ITE justru positif dalam membangun informasi dan komunikasi yang sehat bagi publik.


Baca juga:

Berikutnya….

  • T: Benarkah ada pasal “selundupan” terkait hak untuk dilupakan (right to be forgotten / RTBF) di jelang akhir pembahasan revisi UU ITE?
  • T: Mudahkah bagi pelangggar HAM untuk menghapuskan jejak digitalnya berdasarkan pasal RTBF?
  • T: Dapatkah pasal RTBF meminta media online profesional menghapus berita?
  • T: Benarkah pemerintah menjadi sangat berkuasa memblokir konten di Internet dengan UU ITE?
  • T: Bagaimana sebenarnya regulasi dan praktik tata kelola penapisan (filtering) konten Internet di Indonesia saat ini?
  • T: Upaya apa yang sebaiknya kita lakukan tata kelola Internet dapat melindungi masyarakat Indonesia namun juga tidak melanggar kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia?
  • T: Jadi sebenarnya, apa sih UU ITE itu? Penting dan perlu gak buat kita?

[bersambung…]

[Donny B.U. / ICT Watch]