internetsehat.id

Merawat Kolaborasi Literasi Digital Indonesia

Dari Tebet Literasi Digital

Kartini Masa Kini dan Pencarian Keadilan Kasus Kekerasan danPelecehan Seksual di Ruang Digital

Kartini modern untuk mendukung upaya mencari keadilan.

Di saat yang bersamaan Anda membaca paragraf pertama di tulisan ini, ada ribuan perempuan Indonesia di luar sana yang tengah berjuang mencari keadilan atas kekerasan dan pelecehan seksual yang mereka alami.

Banyak dari mereka yang terperangkap dalam ketidaktahuan, ketakutan bahkan ketidakberdayaan.

Hanya segelintir dari mereka yang berhasil menemukan orang-orang yang bersedia mendukung, membantu dan mendorong mereka untuk mendapat keadilan.

Hari kartini yang tiap tahunnya diglorifikasikan sebagai hari perjuangan emansipasi perempuan, selalu diisi dengan berbagai tindakan reflektif oleh bangsa Indonesia. Semoga bukan hanya melalui perlombaan kebaya, penghargaan kepada perempuan-perempuan yang dianggap berhasil menjadi representasi Kartini modern atau postingan serentak di media sosial dengan kalimat-kalimat yang memotivasi perempuan.

Semestinya, hari Kartini dapat pula menjadi kesempatan untuk mengingat bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi perempuan Indonesia, diantaranya adalah ketimpangan gender, ketimpangan penghasilan, tidak meratanya akses terhadap layanan kesehatan, ketimpangan pengetahuan dan akses terhadap dunia digital dan kekerasan terhadap perempuan di ranah luring juga daring.

Kekerasan dan Pelecehan Seksual terhadap Perempuan

CATAHU (2023) mencatat 4.371 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2022. Kekerasan ini terjadi di ranah privat dan publik. Banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat dan tak jarang kasusnya dilupakan, menyisakan trauma tak berkesudahan pada korban dan seringkali berakhir tanpa sedikitpun pemenuhan rasa keadilan bagi korban.

Walaupun Indonesia telah selama 39 tahun meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mencegah dan menghapuskan diskriminasi gender, namun kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan seakan masih banyak dibiarkan dan malah justru tak berpihak pada korban.

Dalam perbincangan saya bersama kolega LBH APIK yang kerap mendampingi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan pada awal April 2023 lalu di Bali, korban – utamanya perempuan acapkali tidak berdaya ketika mencari keadilan atas kasus kekerasan dan pelecehan yang mereka alami.

Tekanan-tekanan adat dan sosial, ketidaktahuan tentang hak-hak korban, “pengumbaran” privasi pada sidang yang terbuka, relasi kuasa yang kentara di masyarakat patriarki, hingga absennya negara dalam menjamin keadilan bagi korban menjadi tantangan tersendiri dan menggerogoti kepercayaan diri korban. Hal ini, kemudian menjadi penyebab enggannya korban kekerasan dan pelecehan seksual melapor, mencari bantuan hingga menyelesaikan kasusnya di ranah pidana.

Fakta bahwa korban juga memiliki keterbatasan dalam faktor ekonomi, perlu kita sadari menjadi kondisi yang memberatkan pula. Perempuan yang tidak berdaya secara ekonomi akan menemui, dibenturkan dan dihadang oleh kesulitan ganda. Mereka akan lebih rentan menjadi korban kekerasan, pelecehan dan eksploitasi seksual, sulit dalam mengakses informasi dan layanan perlindungan, hingga terbatasnya kepercayaan diri untuk lepas dan terbebas dari pelaku.

Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)

Kekerasan dan Pelecehan Seksual yang dibiarkan di ranah luring bertransformasi ke ruang baru, yang dimimpikan hadir sebagai ruang kebebasan yang penuh keadilan.

Ruang Digital.

Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau yang didefinisikan sebagai kekerasan yang terjadi di ruang digital (terfasilitasi oleh teknologi dan internet) dengan korban yang teridentifikasi memiliki relasi kuasa yang lebih rendah karena jenis kelamin dan identitas gender yang dimiliki – merongrong dan mengancam keamanan juga kenyamanan perempuan, pun juga mereka dengan identitas gender yang berbeda dalam pengalaman dan hak ‘ketubuhannya’ di ruang digital.

Mereka yang paling beresiko adalah yang pernah terlibat hubungan romantis, profesional, orang yang aktif di ruang publik (aktivis, jurnalis, aktor/ aktris dsb.), hingga penyintas kekerasan fisik (Data berdasarkan riset Association for Progressive Communication (APC) dalam buku Panduan KBGO SAFEnet).

Bentuk-bentuk KBGO yang terjadi di sekitar kita diantaranya adalah pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan tanpa consent, perusakan reputasi atau kredibilitas, pelecehan, ancaman langsung, hingga serangan siber yang terencana pada kelompok berbasis gender tertentu.

Kasus KBGO yang pernah terjadi di Indonesia misalnya kasus pelecehan karyawan swasta yang mencuat setelah suami korban membuat thread di twitter terkait pelecehan yang menimpa istrinya. Korban mendapati foto punggungnya yang diambil tanpa izin saat ia menjadi model di sebuah proyek kantor disebar di grup Whatsapp kantor dan menuai tanggapan tidak pantas dari rekan kerjanya.

Hubungan romantisme yang berakhir sepihak dan menimbulkan rasa sakit hati juga dendam pun menjadi faktor resiko terjadinya KBGO. Misalnya kasus pria asal Gresik yang menyebar video mantan kekasihnya ketika ia sakit hati diputuskan oleh korban.

Pelaku kekerasan di ruang privat menurut Komnas Perempuan memang banyak dilakukan oleh mantan pacar, suami ataupun mantan suami korban. Hal ini sejalan dengan fakta UN Women, bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan seksual dari orang yang pernah terlibat hubungan romantisme dengan korban. Sedangkan, pelaku kekerasan di ruang publik menurut CATAHU Komnas Perempuan (2023) banyak dilakukan oleh teman di media sosial.

Kartini Modern untuk Mendukung Upaya Mencari Keadilan

Di tengah peliknya pencarian keadilan bagi korban kasus kekerasan dan pelecehan seksual, kita masih memiliki harapan.

Salah satu surat Kartini dalam buku Surat-Surat Kartini. Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, Kartini sempat menuliskan “Gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kebahagiaan dirinya saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan banyak sesama manusia” bisa menjadi pengingat bahwa memperjuangkan keadilan bagi perempuan terutama di kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual di ruang digital adalah tugas bersama.

Hal yang dapat dilakukan untuk mengakhiri lingkaran hitam kekerasan dan pelecehan seksual, utamanya KBGO dimulai dengan meyakini bahwa segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Pembiaran terhadap hal tersebut sudah dan akan merenggut hak-hak perempuan yang wajib dipenuhi seperti hak untuk hidup, hak untuk setara, hak untuk terlindung oleh hukum dan terbebas dari segala bentuk penyiksaan dan tindakan yang tidak berlandaskan prinsip-prinsip kemanusiaan (UN Women, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993).

  • Terakhir, upaya pencegahan KBGO yang dapat dilakukan bersama antara lain melalui:
  • Menggunakan pendekatan pencegahan KBGO yang difokuskan pada pemberdayaan korban (perempuan) sebagai wujud emansipasi modern. Perspektif pemberdayaan korban akan membantu penyelesaian kasus yang lebih berpihak kepada korban.
  • Melakukan pelatihan literasi digital utamanya di isu KBGO yang ramah perempuan diharapkan dapat lebih banyak dilakukan secara mandiri maupun kolektif. Misal: penentuan lokasi dan waktu kegiatan yang lebih ramah perempuan.
  • Memperbanyak kolaborasi yang berfokus membahas KBGO. Misal: ICT Watch (internetsehat.id) sempat bekerja sama dengan International Labour Organization (ILO) untuk memberikan pelatihan kepada stakeholders ketenagakerjaan dan serikat pekerja terkait KBGO, Konvensi ILO 190 dan pentingnya menjaga keamanan digital.
  • Mengaktifkan berbagai kampanye untuk mengakhiri stigma dan mendukung pendampingan secara psikis kepada korban. Seperti mendorong terbentuknya kelompok pendamping di masyarakat yang dilengkapi dengan pengetahuan KBGO juga Psychological First Aid (PFA).

Perempuan – Kartini masa kini memiliki kekuatan besar. Empati dan kemauan untuk bergerak , berkolaborasi dan berdaya bersama-sama. Hal yang seharusnya dapat dipermudah dengan kehadiran medium teknologi dan komunikasi. Perempuan diberikan kemampuan mendobrak dengan kelembutannya. Mendukung dengan empatinya. Berdaya bersama-sama dengan kawan-kawan perempuan juga laki-laki. Sebab kita perlu meyakini bahwa ini adalah permasalahan bersama, tak memandang perbedaan jenis kelamin.

*) Penulis adalah Program Director ICT Watch Indonesia, dapat dihubungi melalui email [email protected]