Maraknya berita hoax atau berita bohong tentu saja meresahkan. Tidak tanggung-tangung, Presiden Jokowi menyatakan bahwa penegakan hukum harus tegas dan keras terhadap media-media online yang sengaja memproduksi berita-berita bohong tanpa sumber yang jelas, judul provokatif, dan mengandung fitnah.
Sejak munculnya pernyataan Presiden Jokowi tersebut berbagai upaya telah dilakukan oleh Kemkominfo, termasuk melakukan pemblokiran atas beberapa situs. Usaha berikutnya dari Kemkominfo adalah bekerja sama dengan Dewan Pers untuk menyaring media online sehubungan dengan informasi palsu atau hoax yang marak beredar di tengah masyarakat.
Sebagaimana dikutip dari BBC Indonesia, Kemkominfo dan Dewan Pers akan menerapkan sistem verifikasi terhadap media online. Menurut Dewan Pers ada dua hal yang diperhatikan dalam proses verifikasi, yaitu aspek legalitas yang terkait dengan pertanyaan apakah pengelola situs sudah berbadan hukum dan aspek pemberitaan yang terkait dengan pertanyaan apakah telah sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Nezar Patria, salah seorang anggota Dewan Pers mengatakan bahwa media-media online akan dicek apakah berbadan hukum atau tidak, bagaimana strukturalnya termasuk jajaran redaksinya, lalu apakah pengelolanya sudah mendapat lisensi standar kewartawanan atau tidak.
Dewan Pers juga akan melihat konten yang diproduksi media yang online. Dewan Pers melihat berdasarkan standar pemberitaan, apakah media online melaksanakan prosedur praktik jurnalistik secara profesional atau tidak. Selain melakukan monitoring, Dewan Pers juga menggunakan data-data pengaduan yangdidapatkan, yaitu apakah media online tertentu pernah diadukan atau tidak, lalu ketika mereka merespon pengaduan apakah sesuai dengan kode etik jurnalistik atau tidak. Nantinya, setiap media yang sudah terverifikasi akan diberikan semacam barcode oleh Dewan Pers yang terhubung dengan sistem data.
Pertanyaannya tentu saja, apakah sistem verifikasi tersebut cukup efektif membendung pemberitaan palsu?
Menurut Agus Sudibyo, seorang pengamat media dan komunikasi jawabannya adalah tidak. Ia mengatakan bahwa langkah pemerintah hanya akan berimbas pada konsekuensi hukum terhadap pengelola media (online), namun tidak pada perilaku pembaca sebab pembaca hanya akan membaca yang menarik menurut mereka. Ia menambahkan bahwa hoax tidak hanya muncul di media online, tetapi media sosial, tetapi media sosial ini bukan sasaran dari barcode atau sistem verifikasi tersebut.
Oleh karena itu sangat penting bagi pemerintah untuk melihat pemberitaan hoax ini lebih menyeluruh. Ini artinya pemerintah tidak hanya mengandalkan satu langkah seperti sistem verifikasi, tetapi juga melakukan langkah lain, seperti yang dipraktikkan di Jerman, di mana pemerintah Jerman memerintahkan media sosial (terutama Facebook) untuk menghapus semua yang diindikasikan berita bohong dalam waktu 1×24 jam, kalau tidak didenda Rp7 miliar
Hal yang tidak boleh ketinggalan adalah semakin ditingkatkannya upaya literasi digital. Usaha ini meskipun tidak berdampak jangka pendek, namun sangat penting untuk menanamkan kesadaran kepada pengguna internet untuk menjauhkan diri dari membagi berita bohong. Sayangnya upaya literasi digital ini selalu lebih di belakang daripada tindakan yang menginginkan dampak yang segera terlihat.
Sumber: BBC Indonesia
Sumber Foto: Div Humas Polri