Mungkin dulu ibu Anda pernah berkata atau berpesan jangan menggunakan kata-kata kutukan agar tidak membuat orang berpikir bahwa Anda kurang berpendidikan daripada kondisi Anda sebenarnya. Pesan atau nasihat ini mungkin ada benarnya, bahkan di dunia media sosial seperti sekarang ini di mana sangat banyak pengguna media sosial seperti Twitter bersumpah serapah di timeline mereka.
Dalam serangkaian penelitian, psikolog sosial dan ilmuwan komputer dari AS, Jerman, dan Australia menganalisis tweet publik untuk menilai apa kesimpulan yang ditarik orang lain terhadap mereka yang melakukan tweet tersebut. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa ketika seseorang memposting tweet menyumpah di Twitter mereka, peserta penelitian mengklasifikasn mereka ke dalam kelompok orang yang tak pernah mengenal sekolah atau tidak berpendidikan. Kadang-kadang asumsi ini akurat, tetapi peserta penelitian cenderung berlebihan memberikan atribut di mana bahasa percakapan seperti “lol,” “wanna”, dan “gonna” dianggap termasuk kelompok non-berpendidikan tinggi.
Untuk salah satu percobaan, 481 peserta penelitian diminta untuk mengkategorikan 1.000 penulis tweet berdasarkan tingkat pendidikan yang hanya dilihat pada isi posting media sosial mereka. Para peneliti menggunakan bentuk kecerdasan buatan yang disebut natural language processing (NLP) untuk memisahkan stereotip yang masuk akal dari orang-orang yang tidak benar.
Para peneliti menunjukkan satu set perilaku yang digambarkan melalui pilihan bahasa yang digunakan pada media sosial dan meminta orang untuk menebak identitas orang yang melakukan tweet. Menyumpah adalah hal yang sangat menonjol untuk contoh stereotip yang tidak akurat. Bahasa percakapan secara otomatis menurunkan dugaan tingkat pendidikan yang melakukan tweet dan peserta mengasumsikan bahwa orang dengan gelar pendidikan tinggi tidak pernah menyumpah (sesuatu yang tidak benar).
Percobaan yang berbeda dalam studi yang sama meminta peserta untuk membuat penilaian tentang usia, jenis kelamin dan afiliasi politik mengungkapkan sejumlah stereotip tidak berdasar lainnya. Siapa pun yang menulis tentang teknologi diklasifikasikan sebagai laki-laki. Sentuhan feminitas dalam pilihan kata-kata yang disampaikan mengklasifikasikan seseorang liberal dan bahasa maskulin menunjukkan kepada peserta bahwa seseorang adalah konservatif.
Intinya, seseorang bisa menganggap Anda kurang berpendidikan dengan hanya melihat apa yang Anda tweet-kan. Meskipun Anda memiliki gelar sarjana tinggi, namun jika sering melakukan sumpah serapah di Twitter, orang tetap akan menganggap Anda kurang berpendidikan.
Sumber: Quartz
Sumber Foto: Gizmodo AU