Pemblokiran akses internet adalah kebenaran yang menyedihkan. Beberapa negara dengan mengatasnamakan hak, pemerintah memblokir akses internet bagi warganya. Negara bagian India, Gujarat memblokir akses ke internet pada bulan Agustus tahun lalu setelah terjadi protes kekerasan di sana. Tindakan serupa diambil oleh negara bagian Haryana bulan ini. Sekarang, Aljazair telah memblokir untuk sementara akses warganya ke Facebook dan Twitter, serta layanan 3G, setelah kertas ujian sarjana muda bocor di media sosial. Lebih dari 555.000 siswa di negara Afrika Utara tersebut harus mengulang kembali ujian mereka sebagai akibat dari kebocoran tersebut.
Memblokir akses ke layanan online tampaknya menjadi tren yang berkembang di seluruh dunia. Pemerintah mungkin memiliki niat yang baik ketika mereka memberlakukan pembatasan tersebut, namun pemblokiran tersebut mengkhawatirkan karena membatasi kemampuan orang untuk berkomunikasi dengan orang yang mereka cintai dan masyarakat di masa krisis dan menghalangi aliran informasi dan berita yang akurat.
Melarang layanan (akses ke internet), bahkan untuk sementara lebih banyak jeleknya daripada baiknya. Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, terutama dalam kasus seperti kebocoran soal ujian di Aljazair adalah memeriksa akar penyebab masalah dan mengatasinya secara langsung daripada membatasi akses ke layanan penting yang sekarang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Pemerintah Aljazair mengatakan bahwa awal bulan ini pihak kepolisian telah menangkap beberapa orang, termasuk pejabat yang bekerja di kantor pendidikan nasional dan percetakan dalam penyelidikan yang terkait dengan kebocoran ujian sekolah tinggi ke media sosial. Namun hal tersebut bukan berarti menjadi pembenaran adanya pemblokiran akses internet. Ada baiknya akses internet tidak selalu menjadi korban pelengkap penderitaan yang disebabkan oleh perilaku orang-orang yang justru tidak berhubungan dengan internet secara langsung.
Sumber: Reuters via The Next Web
Sumber Foto: Gizmodo