Anak-anak praremaja dan remaja bisa sangat fasih menggunakan situs media sosial. Mereka meng-upload foto narsis dan texting dengan teman-teman mereka. Akan tetapi mereka sering terlalu cuek untuk mengevaluasi akurasi dan kepercayaan dari apa yang mereka temukan online.
Menurut sebuah studi dari Stanford University, sebanyak 82% dari siswa sekolah menengah tidak bisa membedakan antara iklan berlabel konten disponsori dan berita sebenarnya pada sebuah situs web. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 7.804 anak muda dari sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Studi tersebut merupakan studi terbesar sejauh ini yang meneliti bagaimana remaja mengevaluasi informasi yang mereka temukan secara online. Banyak siswa menilai kredibilitas tweet berita didasarkan pada seberapa banyak detail yang ada atau apakah foto ukuran besar diikutkan, bukan pada sumber berita.
Lebih dari dua per tiga siswa sekolah menengah tidak bisa melihat alasan yang sah untuk tidak mempercayai posting yang ditulis oleh seorang eksekutif bank yang mengemukakan argumen bahwa orang dewasa muda membutuhkan lebih banyak bantuan perencana keuangan. Hampir empat dari 10 siswa sekolah menengah percaya, berdasarkan judul, foto cacad pada sebuah situs berbagi foto merupakan bukti yang kuat dari kondisi beracun di dekat pabrik nuklir Fukushima Daiichi di Jepang, meskipun tidak ada sumber atau lokasi yang diberikan dalam foto tersebut.
Penelitian ini menunjukkan bahwa anak muda cenderung cuek untuk mengevaluasi akurasi dan tingkat kepercayaan dari apa yang mereka temukan secara online. Dengan kondisi ini mereka akan sering melihat judul berita dan bisa percaya begitu saja tanpa melihat sumber berita tersebut. Mereka tidak tahu apakah suatu berita palsu atau berita sebenarnya. Hal ini tentu membahayakan karena bila mereka tidak mau mengevaluasi sumber berita, kemudian berita tersebut disebarkan, maka berita palsu itu akan tersebar dan lama-kelamaan diyakini sebagai kebenaran.
Sumber: Stanford Edu via WSJ
Sumber Foto: htvapps.com