internetsehat.id

Merawat Kolaborasi Literasi Digital Indonesia

Dari Tebet Literasi Digital

Press Release : #BaliBangkit: Diskusi Rural ICT Camp Development

Internet Sehat : Internet menunjang segala aktivitas di era sekarang, mulai dari membantu kemudahan pencarian informasi, menjalankan roda ekonomi, edukasi, maupun sarana berkomunikasi. Melihat manfaatnya, seyogyanya semua lapisan masyarakat memperoleh akses internet yang setara, tak terkecuali masyarakat pedesaan.

Bali Bangkit dalam rangkaian acara Rembug Nusa kali ini mengadakan Diskusi Rural ICT Camp yang dipimpin oleh Gustaff Harriman dari Common Room. Gustaff mengatakan, penyediaan layanan internet menjadi titik fokus dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Namun, kenyataannya masih terjadi kesenjangan internet antara di kota dan desa. 

“Berdasarkan riset sekitar 70-80% berpusat di kota besar sehingga potensi di pedesaan sulit berkembang. Selain itu, dampak dari pandemi COVID 19 menyebabkan transisi dari dunia nyata ke dunia digital,” tutur Gustaff pada diskusi yang diadakan di meeting room CLV Hotel, Bedugul, Bali, Minggu 29 Agustus 2021. 

Internet menjadi salah satu sandaran masyarakat untuk melanjutkan kehidupan di tengah pandemi COVID-19 untuk menyambung kelangsungan hidup mereka. Melihat masih adanya kesenjangan internet di wilayah rural, beberapa komunitas dari masyarakat sipil turut turun tangan dalam mengisi gap kesenjangan literasi digital.

Ada berbagai upaya untuk membantu mengurangi kesenjangan internet di masyarakat, salah satunya melalui Internet Komunitas yang diinisiasi tahun 2020 di Ciptagelar dan Ciracap, menjadi jalan penyediaan akses internet untuk menjangkau kalangan yang membutuhkan. Cikal bakal Internet Komunitas sebelumnya adalah program RT/RW Net.

Puji Pujianto, perwakilan dari ITU, menyampaikan konsep Smart Village juga turut membantu kesenjangan sosial, yakni program yang selaras dengan internet komunitas untuk membantu desa-desa 3T (Terdepan, Tertinggal, Terluar). Program ini juga mendorong pembangunan internet ke desa untuk mengejar ketertinggalan literasi digital.

Sementara itu, Anton dari media jurnalisme warga Bale Bengong menyampaikan bahwa internet menjadi tantangan terbesar yang hingga kini masih belum dapat tertangani secara menyeluruh. Misalnya di Bali sendiri, internet hanya terfokus pada wilayah perkotaan, seperti di Denpasar. Kesenjangan masih terjadi di Bali bagian utara dan selatan.

“Internet adalah alat untuk memberdayakan diri, seperti contoh warga sangat bergantung berkomunikasi melalui whatsapp. Jadi internet juga bisa menjadi soal hidup dan mati bagi sebagian komunitas,” kata Anton.

Hal serupa juga dialami oleh Gary dari Relawan TIK. Ketika pulang ke kampungnya yang berada di Ciracap, Jawa Barat, Gary harus pergi ke kedai kopi atau pergi ke perkotaan hanya untuk mendapatkan akses internet.

Beruntung ia akhirnya berdiskusi dengan Gustaff tentang permasalah internet di daerahnya. Dari diskusi tersebut, Gary berinisiatif membangun infrastruktur internet di kampung halamannya.

Ia berkolaborasi dengan siswa-siswa SMK di selatan kabupaten Sukabumi untuk membuat komisariat RTMIK SMK. Gary mendapat dukungan dari Common Room untuk membangun tower di tiga desa agar mendapat akses internet, termasuk di SMK yang ia ajak untuk berkolaborasi.

Masih dalam forum yang sama, Rudiantara mengakui, Indonesia adalah negara yang terlambat dalam pembangunan infrastruktur ICT yang membutuhkan tiga komponen utama, yakni device, network, dan application. Ketiganya harus benar-benar fokus dijalankan untuk membentuk infrastruktur yang baik dan tentunya membutuhkan kerjasama multistakholder.

Beliau juga berpesan kepada seluruh perwakilan utusan spesial Relawan TIK untuk memikirkan pengoptimalan ICT untuk menunjang kualitas kehidupan masyarakat di pedesaan. 

Internet menunjang segala aktivitas di era sekarang, mulai dari membantu kemudahan pencarian informasi, menjalankan roda ekonomi, edukasi, maupun sarana berkomunikasi. Melihat manfaatnya, seyogyanya semua lapisan masyarakat memperoleh akses internet yang setara, tak terkecuali masyarakat pedesaan.

Bali Bangkit dalam rangkaian acara Rembug Nusa kali ini mengadakan Diskusi Rural ICT Camp yang dipimpin oleh Gustaff Harriman dari Common Room. Beliau mengatakan, penyediaan layanan internet menjadi titik fokus dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Namun, kenyataannya masih terjadi kesenjangan internet antara di kota dan desa. 

“Berdasarkan riset sekitar 70-80% berpusat di kota besar sehingga potensi di pedesaan sulit berkembang. Selain itu, dampak dari pandemi COVID 19 menyebabkan transisi dari dunia nyata ke dunia digital,” tutur Gustaff pada diskusi yang diadakan di meeting room CLV Hotel, Bedugul, Bali, Minggu 29 Agustus 2021. 

Internet menjadi salah satu sandaran masyarakat untuk melanjutkan kehidupan di tengah pandemi COVID-19 untuk menyambung kelangsungan hidup mereka. Melihat masih adanya kesenjangan internet di wilayah rural, beberapa komunitas dari masyarakat sipil turut turun tangan dalam mengisi gap kesenjangan literasi digital.

Ada berbagai upaya untuk membantu mengurangi kesenjangan internet di masyarakat, salah satunya melalui Internet Komunitas yang diinisiasi tahun 2020 di Ciptagelar dan Ciracap, menjadi jalan penyediaan akses internet untuk menjangkau kalangan yang membutuhkan. Cikal bakal Internet Komunitas sebelumnya adalah program RT/RW Net.

Puji Pujianto, perwakilan dari ITU, menyampaikan konsep Smart Village juga turut membantu kesenjangan sosial, yakni program yang selaras dengan internet komunitas untuk membantu desa-desa 3T (Terdepan, Tertinggal, Terluar). Program ini juga mendorong pembangunan internet ke desa untuk mengejar ketertinggalan literasi digital.

Sementara itu, Anton dari media jurnalisme warga Bale Bengong menyampaikan bahwa internet menjadi tantangan terbesar yang hingga kini masih belum dapat tertangani secara menyeluruh. Misalnya di Bali sendiri, internet hanya terfokus pada wilayah perkotaan, seperti di Denpasar. Kesenjangan masih terjadi di Bali bagian utara dan selatan.

“Internet adalah alat untuk memberdayakan diri seperti contoh warga sangat bergantung berkomunikasi melalui whatsapp. Jadi internet juga bisa menjadi soal hidup dan mati bagi sebagian komunitas,” kata Anton.

Hal serupa juga dialami oleh Gary dari Relawan TIK. Ketika pulang ke kampungnya yang berada di Ciracap, Jawa Barat, Gary harus pergi ke kedai kopi atau pergi ke perkotaan hanya untuk mendapatkan akses internet.

Beruntung ia akhirnya berdiskusi dengan Gustaff tentang permasalah internet di daerahnya. Dari diskusi tersebut, Gary berinisiatif membangun infrastruktur internet di kampung halamannya.

Ia berkolaborasi dengan siswa-siswa SMK di selatan kabupaten Sukabumi untuk membuat komisariat RTMIK SMK. Gary mendapat dukungan dari Common Room untuk membangun tower di tiga desa agar mendapat akses internet, termasuk di SMK yang ia ajak untuk berkolaborasi.

Masih dalam forum yang sama, Rudiantara mengakui, Indonesia adalah negara yang terlambat dalam pembangunan infrastruktur ICT yang membutuhkan tiga komponen utama, yakni device, network, dan application. Ketiganya harus benar-benar fokus dijalankan untuk membentuk infrastruktur yang baik dan tentunya membutuhkan kerjasama multistakholder.

Beliau juga berpesan kepada seluruh perwakilan utusan spesial Relawan TIK untuk memikirkan pengoptimalan ICT untuk menunjang kualitas kehidupan masyarakat di pedesaan. 

“Internet adalah alat untuk memberdayakan diri seperti contoh warga sangat bergantung berkomunikasi melalui whatsapp, jadi internet juga bisa menjadi soal hidup dan mati bagi sebagian komunitas,” tutup Rudiantara.

memberdayakan diri seperti contoh warga sangat bergantung berkomunikasi melalui whatsapp, jadi internet juga bisa menjadi soal hidup dan mati bagi sebagian komunitas,” tutup Rudiantara.