Literasi digital /Internet diyakini penting untuk diberikan kepada para siswa. Sebanyak 73% dari 165 responden Bapak /Ibu guru Bimbingan dan Konseling (BK) SMA se-Jabodetabek, Sukabumi dan Cilegon menyatakan bahwa materi literasi digital /Internet sangat perlu diberikan kepada siswa, sedangkan 26% menyatakan perlu dan hanya 1% yang menyatakan belum perlu bagi para siswa.
Lalu bagaimana sebaiknya materi literasi digital /Internet diposisikan dalam kegiatan belajar mengajar? Masuk kurikulum!, demikian jawab 52% responden. Sementara 29% lainnya memilih menjadi materi khusus guru BK, 18% memilih menjadi kegiatan ekstra-kurikuler, dan hanya 1% berpendapat bahwa literasi digital /Internet belumlah perlu ada di materi dalam lingkup sekolah.
Data di atas merupakan hasil jajak pendapat sederhana yang dilakukan ICT Watch terhadap 165 (seratus enam puluh lima) Bapak/Ibu Guru BK ketika mengikuti pelatihan kompetensi, salah satunya tentang Internet Sehat (internetsehat.id) yang difasilitasi Universitas Pancasila, 8 Desember 2015.
Walau sudah dipastikan literasi digital /Internet perlu bagi siswa, ternyata kegiatan penyampaian materi tersebut di sekolah-sekolah tidaklah memadai. 40% responden menyatakan tidak pernah ada kegiatan workshop atau seminar tentang literasi digital atau Internet di sekolah untuk siswa dan 52% responden menyatakan hanya sesekali/insidentil. Hanya 7% yang menyatakan rutin/berkala, dan 1% lainnya tidak tahu.
Padahal 88% responden menegaskan bahwa ada cukup banyak pelajaran atau tugas sekolah yang menganjurkan siswa untuk mencari jawaban di Internet! 12% lainnya menyatakan hanya sedikit dan tidak ada yang menjawab tidak ada atau tidak tahu. Kemudian ketika ditanyakan seberapa sering terjadi kasus di sekolah yang terkait dengan penggunaan Internet oleh siswa, 16% menyatakan cukup sering, 53% responden menyatakan sesekali, 21% jarang dan hanya 10% yang menyatakan tidak pernah.
Lantas menurut responden, risiko apa yang paling sering dihadapi murid ketika menggunakan Internet? 35% adalah kecanduan (Internet), 29% adalah terpapar konten negatif, 22% cyberbully, 10% pelanggaran privasi dan 4% predator (pedofil) online.
Dari paparan data di atas, tampak jelas adanya kebutuhkan yang signifikan untuk menghadirkan materi literasi digital / Internet di sekolah bagi para siswa. Hal ini selaras dengan semangat World Summit on the Information Society (WSIS) khususnya rencana aksi Capacity Building yang meminta setiap negara untuk:
membangun kebijakan dalam negeri guna memastikan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terintegrasi penuh ke dalam pendidikan dan pelatihan di seluruh jenjang, termasuk dalam pengembangan kurikulum, pelatihan guru, manajemen dan administrasi institusi, dan juga mendukung konsep pembelajaran seumur hidup.
Untuk itulah maka pengampu kebijakan terkait, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), perlu segera duduk bersama dengan pemangku kepentingan terkait semisal Indonesia Child Online Protection (ID-COP) dan lainnya guna merumuskan bentuk implementasi literasi digital / Internet secara terstruktur dan berkelanjutan di sekolah-sekolah.
Sejatinya, berdasarkan riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama dengan Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Universitas Indonesia, 80% dari 88.1 juta pengguna Internet di Indonesia adalah generasi muda kategori digital native, mereka yang lahir pada tahun 1980 dan sesudahnya.
PBB, melalui laporan Measuring the Information Society yang dirilis oleh International Telecommunication Union (ITU) tahun 2013 menetapkan prasyarat generasi digital native adalah jika mereka juga belajar tentang literasi digital /Internet, baik secara formal maupun informal.
Jakarta, 17 Desember 2015