internetsehat.id

Merawat Kolaborasi Literasi Digital Indonesia

Literasi Digital

Tidak Bersalah dalam Kasus Pelecehan di Twitter

People holding mobile phones are silhouetted against a backdrop projected with the Twitter logo in Warsaw

Seorang pria Kanada telah diputuskan tidak bersalah atas pidana melecehkan dua perempuan melalui Twitter. Kasus ini diyakini sebagai contoh pertama dari keseriusan pengadilan Kanada pada isu-isu pelecehan pada platform media sosial.

Gregory Alan Elliott ditangkap oleh polisi Toronto pada bulan November 2012 dengan tuduhan bahwa ia melecehkan dua aktivis feminis, Stephanie Guthrie dan Heather Reilly, selama beberapa bulan melalui Twitter.

Meskipun kedua wanita tersebut telah memblokir akun Elliott agar mencegahnya dari melihat tweet mereka atau mengarahkan tweet di akun mereka, jaksa penuntut menuduh bahwa Elliott mengirim sejumlah tweet obsesif terus-menerus dengan menggunakan tagar.

Dalam keputusannya, Hakim Brent Knazan membahas sifat komunikasi di Twitter, hak kebebasan berekspresi di Canada’s Charter of Rights, dan jenis komunikasi pribadi pengguna Twitter yang mungkin ada. Knazan juga mengelaborasi sifat tagar dan memutuskan bahwa penggunaan tagar tertentu dalam tweet tidak harus mempertimbangkan komunikasi yang dilindungi oleh undang-undang terhadap pelecehan.

Menurutnya, sekali seseorang menciptakan tagar, siapa pun dapat menggunakannya. Setiap orang harus dapat menggunakannya secara bebas, sesuatu yang kurang dari hal tersebut akan membatasi pengoperasian Twitter dengan cara yang tidak konsisten dengan kebebasan berekspresi.

Pada akhirnya, hakim memutuskan bahwa meskipun tweet Elliott termasuk cabul dan homophobic setidaknya dalam dua contoh, namun tidak  mengancam.

Tantangan memerangi pelecehan selagi menghormati kebebasan berbicara telah menjangkiti Twitter dan platform media sosial lainnya. Mantan CEO Twitter Dick Costolo mengaku bertanggung jawab atas kegagalan Twitter dalam mengatasi pelecehan.

Harus diakui bahwa terutama di Twitter sangat banyak pelecehan terjadi. Namun, kebanyakan pengguna beralasan kebebasan berekspresi sebagai landasan mereka melakukan pelecehan. Contoh kasus di atas setidaknya memberikan gambaran bahwa seseorang yang dinyatakan melakukan pelecehan bisa saja kembali bebas akibat tipisnya perbedaan kebebasan berekspresi dan pelecehan karena adanya berbagai tafsir.

Sumber: The Guardian

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.