internetsehat.id

Merawat Kolaborasi Literasi Digital Indonesia

Infodemi Literasi Digital

Twitter: Tidak Ada Bukti Bot Meniru NHS

Twitter mengatakan tidak ada bukti jaringan bot digunakan untuk memanipulasi percakapan seputar pandemi virus corona di Inggris. Pernyataan ini bertentangan dengan klaim yang beredar luas bahwa pemerintah menggunakan akun online anonim untuk meningkatkan posisinya saat wabah virus corona.

Klaim yang tidak diverifikasi mengatakan bahwa Department for Health and Social Care Inggris telah menjalankan akun sosial palsu secara luas dibagikan oleh wartawan, politisi, dan tokoh publik terkemuka dalam dua hari terakhir. Klaim tersebut juga ditulis oleh beberapa outlet seperti blog Skwawkbox yang menggambarkan skandal tersebut sebagai Cambridge Analytica berikutnya.

Tuduhan tersebut pertama kali dibuat oleh John O’Connell, seorang penulis untuk situs web Far Right Watch. Dia mengklaim telah mengidentifikasi 128 akun Twitter yang telah dibuat oleh individu yang terkait dengan DHSC atau agen pemasaran tak dikenal yang bekerja untuk pemerintah.

Dalam ceritanya, jaringan akun yang konon terhubung ini sedang dikoordinasikan untuk mempromosikan konsep kekebalan kawanan dan meningkatkan pesan pemerintah. Dia juga mengklaim telah mengidentifikasi empat orang yang menjalankan akun, yang katanya semuanya telah dihapus, tetapi belum merilis nama mereka.

Sejauh ini ia hanya memberikan rincian salah satu dari 128 akun yang diduga terlibat dalam jaringan disinformasi, yaitu satu profil Twitter yang baru-baru ini dihapus dengan pengikut kurang dari 200 yang menggunakan gambar profil yang dicuri dari seorang perawat NHS yang sebenarnya. Akun itu yang diklaim O’Connell meningkatkan pesan pemerintah Inggris.

Namun, Twitter kini mengatakan mereka tidak memiliki bukti pada sistem mereka untuk mendukung tuduhan tersebut. Menurut Twitter, tim spesialis saat ini tidak melihat bukti manipulasi platform terkoordinasi berskala besar seputar percakapan Covid-19, termasuk koordinasi yang disarankan terkait dengan pemerintah Inggris.

Sumber: The Guardian