internetsehat.id

Merawat Kolaborasi Literasi Digital Indonesia

Dari Tebet

Safer Internet Day: Perlunya Kolaborasi Aktif dan Bermakna dalam Menciptakan Ruang Digital yang Aman

Di tengah gemuruh pesta demokrasi yang menggema, di mana rakyat sibuk memilih calon pemimpin, apakah banyak di antaranya menyadari bahwa di setiap hari selasa pertama tiap bulan Februari diperingati sebagai Safer Internet Day?

Popularitas yang saya yakini kalah jauh dari janji-janji kampanye atau mungkin hanya milik kelompok terbatas di kalangan pegiat literasi digital dan internet saja. 

Di antara hiruk pikuk kampanye dan debat panas membuat peringatan ini nampaknya kurang berkesan. Padahal, di Indonesia saja, hampir 80% masyarakatnya telah menjadi pengguna internet aktif. Dan bahkan dalam kontestasi pemilu tahun ini, internet memegang peranan penting dalam pengarusutamaan suara pemilih.

Safer Internet Day atau yang jika dialih bahasakan menjadi “Hari Internet yang Lebih Aman” memiliki makna  yang dalam bagi situasi perkembangan internet.  Alih-alih menjadi “lebih aman”, situasi penggunaan internet saat ini justru kerap menimbulkan ketidakamanan. Teror pinjaman online, judi online, terorisme, penipuan online, penyebaran ujaran kebencian, pencurian data, hingga pelecehan dan kekerasan seksual secara online yang kerap terjadi pada perempuan dan anak-anak. 

Dalam kegiatan diskusi yang dilakukan Internet Sehat (ICT Watch) bersama para dewan penasehat (5-6 Februari 2024), beberapa pertanyaan “menggelitik” muncul dan saya yakini bisa kita  pikirkan bersama. 

Rangkuman diskusi dan pertanyaan yang saya tuliskan kembali ini, merupakan proses internalisasi dan refleksi saya pribadi dalam Safer Internet Day 2024.  Sekaligus juga ajakan untuk melahirkan solusi kolaboratif  guna menciptakan internet yang lebih aman tentu dengan mengundang siapa saja pihak-pihak yang membaca tulisan ini tanpa terbatas latar belakang, suku, ras, agama atau pun warna organisasi dan pilihan politik.

Pertama, perihal Perlindungan Data Pribadi. Indonesia menjadi 1 dari 137 negara yang telah memiliki aturan perlindungan data pribadi. Pada tahun 2022, Indonesia mengatur ketentuan pengendalian juga pemrosesan data pribadi di Undang-Undang No 27 tahun 2022. Hal ini kemudian diharapkan dapat menjadi acuan untuk melahirkan kesadaran atas hak subjek data pribadi dan privasi yang dimilikinya. Pertanyaan yang kemudian muncul sepanjang diskusi di antaranya:

  1. Apakah masyarakat sudah menyadari bahwa Indonesia telah memiliki undang-undang ini?
  2. Apakah masyarakat, sudah cukup tersosialisasi akan prinsip-prinsip dan pasal-pasal di dalam undang-undang ini?
  3. Apakah masyarakat, minimal, menyadari betapa pentingnya data pribadi yang mereka miliki?

Kedua, perihal perkembangan teknologi Kecerdasan Artificial (AI). AI menjadi perbincangan juga kebingungan global. AI diyakini muncul untuk membantu manusia, namun banyak juga telah memfasilitasi kejahatan di dunia digital. Tahun 2023, disebut-sebut juga sebagai tahun AI. Indonesia, di tahun yang sama menjadi 1 dari 28 negara yang menandatangani The Bletchley Declaration pada AI Summit. Deklarasi ini merupakan komitmen bersama untuk memahami potensi dan dampak AI. Di akhir tahun 2023 pun, Indonesia melalui Kominfo telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Dalam Kerangka Visi Indonesia Digital 2045 dengan sangat jelas menyebutkan bahwa salah satu teknologi masa depan yang dibayangkan akan menjadi prioritas adalah AI. Pertanyaan yang kemudian muncul terkait isu ini di antaranya adalah:

  1. Apakah AI, benar-benar menjadi prioritas seluruh masyarakat Indonesia? Atau jangan-jangan masih sangat bersifat ekslusif – terbatas pada masyarakat urban dan wilayah jawa saja?
  2. Apakah regulasi yang disusun untuk memahami potensi dan dampak AI sudah inklusif dan tidak bias? 
  3. Apakah seluruh pihak yang terlibat memiliki pemahaman yang sama, terkait proses “dapur” pengembangan teknologi AI yang erat kaitannya dengan proses “training data”?

Ketiga, Regulasi dan Kebijakan Teknologi. Dalam konteks ini, pemahaman atas struktur hukum yang berlaku di Indonesia menjadi “previllege” baru. Saya meyakini informasi mengenai ini penting menjadi dasar pemahaman berwarga negara. Misal: bagaimana posisi undang-undang dalam mengatur kehidupan sehari-hari warga negara terutama di ruang digital dan apa hubungan dengan peraturan pelaksana dsb.  Pertanyaan yang muncul terkait isu ini di antaranya adalah:

  1. Terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik misal, yang selalu menjadi langganan “trending topic”, terutama setelah disahkan revisinya di awal tahun ini. Apakah semua telah tersosialisasi dengan baik atas sejumlah pasal yang diubah? Atau energi kita masih banyak terfokus pada pasal-pasal yang “itu-itu” saja? 
  2. Melanjutkan pertanyaan no. 1, jangan-jangan,  pasal-pasal yang “itu-itu” saja, sebutlah pasal 27, memang masih amat relevan dampak negatifnya untuk membatasi kebebasan berekspresi di masyarakat?
  3. Apakah regulasi dan kebijakan teknologi yang ada telah mampu menjawab realitas online dan offline yang terjadi akibat proses perluasan jangkauan internet dan digitalisasi yang masif dilakukan?

Keempat, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Komnas Perempuan mencatatkan terjadi peningkatan laporan yang cukup signifikan untuk kasus  KBGO dari 16 laporan pada tahun 2017 hingga menjadi 1.697 laporan pada tahun 2022. Angkanya meningkat semenjak pandemi, sehingga KBGO disebut juga sebagai “The Shadow Pandemic”. Pertanyaan “menggelitik” soal ini di antaranya adalah:

  1. Bagaimana cara memberikan pemahaman kesetaraan gender dengan lebih baik di tengah masyarakat dengan dominasi budaya patriarki dan relasi kuasa yang timpang di Indonesia, terutama dalam upaya penghapusan kekerasan termasuk yang terjadi di ruang digital? 
  2. Bagaimana upaya yang bisa dilakukan bersama untuk mensosialisasikan UU TPKS khususnya pasal 14 mengenai KBGO?
  3. Apa yang bisa dilakukan untuk mendorong lebih banyak lagi pihak (pemerintah, privat, media, akademisi, cso dan platform) untuk mendukung solusi berbasiskan teknologi dalam upaya pencegahan penyebaran konten intim non konsensual? Terutama dengan mendorong  penggunaan bahasa Indonesia dalam layanan tersebut agar mudah dipahami oleh masyarakat.

Kelima, Perlindungan Anak Online. Mengutip data UNICEF pada 2023, terdapat 175.000 anak yang menjadi pengguna baru internet setiap hari atau 1 anak setiap detik. Menurut data Kominfo, di Indonesia sendiri, sebanyak 30 juta anak menjadi pengguna internet aktif. Untuk melindungi anak online, pemerintah telah meluncurkan Strategi Nasional Perlindungan Anak di Dunia Digital 2021-2024 dan kolaborasi multipihak dalam Indonesia Child Online Protection (ID-COP). Namun, di luar sana kejahatan ruang digital mengancam anak-anak kita, mulai dari perundungan online (cyberbullying)  hingga perdagangan anak. Fenomena pemanggilan beberapa pemimpin platform dalam pertanggungjawabannya atas keselamatan anak yang terakhir viral menjadi bukti urgensi atas perlindungan anak online.  Pertanyaan diskusi yang muncul soal ini di antaranya adalah:

  1. Siapa yang sebaiknya menjadi prioritas untuk mendapatkan intervensi dan bertanggung jawab atas perlindungan anak online? Orang tua, guru atau langsung kepada siswa/i?
  2. Bagaimana dengan penguatan perlindungan anak online di kawasan desa? Apa tindak lanjut dari penggabungan 4 Pilar Literasi Digital untuk dapat menunjang 6 Pilar Desa Cerdas?
  3. Bagaimana pemenuhan atas hak-hak anak dalam isu literasi digital? Terutama dengan menyediakan materi ajar menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak

Kelima isu di atas adalah bagian dari perhatian ICT Watch untuk memastikan visinya dalam mewujudkan ekosistem digital yang human-sentris melalui tata kelola Internet berbasiskan inklusifitas, pemenuhan hak kebebasan berekspresi masyarakat, serta pengembangkan/ pemanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara bijak dan beretika.

Terakhir, rangkuman diskusi dan pertanyaan-pertanyaan di atas, ditulis dan tidak mencantumkan jawaban apapun untuk mengundang berbagai kolaborasi aktif dan penuh makna dari berbagai pihak dengan inisiasi yang saya yakini bisa berangkat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk itu, kami mengundang kolaborasi berbagai pihak; pemerintah, swasta, akademisi, komunitas, dan masyarakat. Sebab, berbagai hasil diskusi yang terangkum bermuara pada kerja-kerja kolaboratif yang harus disegerakan. Agar cita-cita untuk dapat membangun internet yang lebih aman dapat diwujudkan melalui momentum Safer Internet Day ini.

Penulis: Ida Ayu Prasasti


ICT Watch  adalah salah satu pelopor gerakan literasi digital di Indonesia melalui program Internet Sehat yang diinisasi sejak 2002. Pada Mei 2017, ICT Watch mendapatkan penghargaan The World Summit on the Information Society (WSIS) Prizes Winner dari International Telecommunication  Union (ITU) – PBB karena dinilai baik dalam menjalankan literasi digital secara kolaboratif bagi masyarakat luas. ICT Watch juga dianugerahi Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada Agustus 2014 karena dianggap telah berperan signifikan dalam mempromosikan Internet sebagai wahana pemenuhan hak atas informasi warga negara.

ICT Watch terdaftar pada Kemenkumham Indonesia  sejak Agustus 2002. Adapun “Internet Sehat” terdaftar pada Dirjen HAKI sejak Oktober 2010, namun gratis dan bebas digunakan bagi edukasi publik. Sejumlah program unggulan terkini dapat diakses di akademi.internetsehat.id dan info.ictwatch.id.